Akhir – akhir ini Yogyakarta menjadi pusat pembangunan
perumahan. Banyaknya potensi dan lahan membuat pebisnis mau mendirikan
bisnisnya di Yogyakarta. Akibatnya dampak sosial pun harus dirasakan oleh
masyarakat dan pemerintah.
Jalan Magelang KM 5 merupakan salah satu wilayah yang
menjadi pusat pembangunan perumahan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu,
potensi pariwisata membuat banyak pendatang ingin memiliki hunian di Jogja. Hal
ini menjadikan kebutuhan terhadap perumahan meningkat 50%. Bidang Tata Ruang
dan Bangunan pun mulai memproyeksikan kebutuhan Kota Yogya terhadap pembangunan
perumahan.
“Nanti dianalisis terlebuh dahulu, dihitung jumlah
pendatang pertahunnya kemudian diproyeksikan 10 tahun mendatang”, kata Fitri
Oknani, Bidang Tata Ruang dan Bangunan, Dinas PUP dan ESDM Yogyakarta.
Para pebisnis yang dengan begitu saja mendirikan perumahan
tanpa memperhatikan peraturan pendirian bangunan, membuat bidang tata ruang
harus kembali menerima keluhan dari masyarakat terkait dengan penyalahgunaan
tata ruang dan bangunan.
Fitri Oknani menambahkan, “Sebenarnya ada ijin tapi ada
dibalik itu kita tidak tahu menahu, tahu – tahu sudah berdiri seperti itu.
Setelah dilihat mereka tidak melakukan Amdal, UKL, UPL, ada yang seperti itu
juga membuat kami menerima keluhan dari masyarakat. Masyarakat mengirim surat
ke PU atau langsung ke Ngarso Dalem itu juga pernah. Di PU sendiri juga ada
website buat pengaduan masyarakat, jadi masyarakat kalau ada pelanggaran tata
ruang dan bangunan, atau mengadu bisa ke web itu”.
Polusi udara dan kebisingan saat pembangunan perumahan
dimulai, serta kurangnya pasokan air setelah perumahan selesai didirikan
menjadi hal yang biasa bagi masyarakat sekitar perumahan. Selain itu,
kekhawatiran masyarakat terhadap tergerusnya kehidupan tradisional semakin
meningkat, dngan adanya pembangunan perumahan yang tidak terkendali.
Bambang, warga sekitar perumahan di jalan Magelang
mengatakan bahwa pernah ada kekeringan lima tahun yang lalu tetapi setelah
dilakukan suntik pada sumur maka tidak kekeringan lagi.
Namun berbeda dengan Asmoro, warga sekitar perumahan
jalan Kaliurang, “Disini gak pernah kekeringan, tapi pernah warga takut sumur –
sumur kering kemudian mereka menjamin dengan ngasih uang ke warga, tapi
kenyataannya gak pernah tuh kekeringan. Mungkin karena disekitar perumahan itu
banyak taman yang membuat sumur – sumur teta mengalir, meski sebagian besar
lahan – lahan berubah jadi rumah”.
Dibalik resahnya masyarakat terhadap pembagunan
perumahan, sektor mall dan grosir lebih diuntungkan disebabkan kebutuhan pokok
para pendatang terpenuhi. Hal ini diungkapkan oleh Pengamat Ekonomi dari FEB
UGM, Sri Adiningsih, “Pendatang yang kebanyakan dari warga menangah keatas,
pastilah kalau memenuhi kebutuhannya ke mall atau grosir karena lengkap. Dan
mereka memasok bahan pokok mereka, dengan banyaknya perumahan dan pendatang ini
membuat mall dan grosir laku keras”.
Usaha untuk menekan jumlah pembangunan perumahan pun
terus dilakukan, dengan menegakkan peraturan tata ruang serta pengetatan
pengendalian.
(Novita Cellyn/HMM)